Demokrasi Liberalpun dijalankan, apakah
bangsa ini pernah mengalami hal yang demikian? Ya tentu saja pernah
mengalami, bahkan sekarang ini adalah melanjutkan apa yang telah dijalankan
selama tahun 50an melanjutkan Free Fight Liberalism, dimana
pertarungan perebutan kekuasaan melalui Pilsung dari Pilpres, Pilkada, yang
terus berlanjut ketika sudah di pemerintahan dimana terjadi saling jegal,
saling caci maki, kampanye hitam dan terus berlanjut hari ini.
Demokrasi banyak-banyakan suara, padahal yang banyak belum
tentu baik dan yang banyak belum tentu mengerti. Triliunan rupiah dikucurkan
demi memilih yang belum tentu baik, puluhan triliun dikucurkan hanya untuk
memilih koruptor.Begitu sudah terpilih, lalu terbukti 84% Kepala Daerah
tersangkut masalah Korupsi.
BELAJAR DARI SEJARAH INDONESIA DEMOKRASI
LIBERAL DENGAN SISTEM PARLEMENTER TAHUN 1950
Barang kali kita harus membuka sejarah
agar tidak tersandung untuk kedua kalinya dengan batu yang sama pidato Bung
Karno perlu kita baca kembali apa yang di wejangkannya dan bisa menjadi kaca
benggala dalam berbangsa dan bernegara. Cuplikan pidato Bung Karno yang perlu
kita renungkan berikut ini:
“Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah
(Never Leave History)……… Cobalah lepaskan pandangan kita lebih jauh lagi ke
belakang. Marilah kita mawas diri sejak saat kita terlepas dari cengkeraman
penjajah Belanda di tahun 1950, yaitu apa yang dinamakan Pengakuan Kedaulatan
– recognition of sovereignty. Betapa hebatnya crucial period-crucial period
yang harus kita lalui selama masa 1950-1959 itu. Free fight liberalism sedang
merajalela; jegal-jegalan ala demokrasi parlementer adalah hidangan
sehari-hari, main krisis kabinet terjadi seperti dagangan kue, dagangan
kacang goreng. Antara 1950 dan 1959 kita mengalami 17 kali krisis kabinet, yang
berarti rata-rata sekali tiap-tiap delapan bulan.
Pertentangan yang tidak habis-habis
antara pemerintah dan oposisi, pertentangan ideologi antara partai dengan
partai, pertentangan antara golongan dengan golongan. Dan dengan makin
mendekatnya Pemilihan Umum 1955 dan 1956, maka masyarakat dan negara kita
berubah menjadi arena pertarungan politik dan arena adu kekuatan. Nafsu
individualisme dan nafsu egoisme bersimaharajalela, tubuh bangsa dan rakyat
kita laksana merobek-robek dadanya sendiri, bangsa Indonesia menjadi a nation
devided againts itself.
Nafsu hantam kromo, nafsu
serang-menyerang dengan menonjolkan kebenaran sendiri, nafsu
berontak-memberontak melawan pusat, nafsu z.g. demokrasi yang keblinger, yang
membuat bangsa dan rakyat kita remuk-redam dalam semangat, kocar-kacir
berantakan dalam jiwa. Sampai-sampai pada waktu itu aku berseru: rupanya
orang mengira bahwa sesuatu perpecahan di muka Pemilihan Umum atau di dalam
Pemilihan Umum selalu dapat diatasi nanti sesudah Pemilihan Umum. Hantam kromo
saja memainkan sentimen.
Tapi orang lupa, ada perpecahan yang
tidak dapat disembuhkan lagi! Ada perpecahan yang terus memakan, terus
menggerantes, terus membaji dalam jiwa sesuatu rakyat, sehingga akhirnya
memecahbelahkan keutuhan bangsa samasekali. Celaka, celaka bangsa yang
demikian itu! Bertahun-tahun, kadang-kadang berwindu-windu ia tidak mampu
berdiri kembali. Bertahun-tahun, berwindu-windu ia laksana hendak
doodbloeden, kehilangan darah yang ke luar dari luka-luka tubuhnya sendiri.
Karena itu, segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: terlepas
dari perbedaan apapun, jagalah persatuan, jagalah kesatuan, jagalah keutuhan!
Kita sekalian adalah makhluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang,
kita ini seolah-olah adalah buta.
Ya benar, kita merencanakan, kita
bekerja, kita mengarahkan angan-angan kepada suatu hal di waktu yang akan
datang. Tetapi pada akhimya Tuhan pula yang menentukan. Justru karena itulah
maka bagi kita sekalian adalah satu kewajiban untuk senantiasa memohon pimpinan
kepada Tuhan. Tidak satu manusia berhak berkata, aku, aku sajalah yang benar,
orang lain pasti salah!
Orang yang demikian itu akhimya
lupa bahwa hanya Tuhan jualah yang memegang kebenaran!
Demikian kataku di waktu
itu............”
Setelah membaca cuplikan di atas,
keadaan sekarang rasanya sama dengan keadaan Indonesia tahun 50an, yang
membedakan saat ini adalah kita menyerahkan kompas kehidupan berbangsa dan
bernegara pada Asing, kita rela melegalkan Kolonialisme, kita amandemen UUD
1945 lalu kita cangkokan amandemen dengan liberalisme, kapitalisme, dan
individualisme. Dengan UUD 2002 cangkokan ini kemudian selanjutkan kita
legalkan kolonialisme, kapitalisme, liberalisme dengan Puluhan Undang-Undang,
bahkan kita sudah tidak lagi bisa berfikir sehat negara bangsa ini kita
bongkar, kita buka blak, agar asing bisa masuk meraba semua kehidupan
berbangsa dan bernegara kita, dengan bangga mengatakan saat ini adalah era
baru, padahal era saat ini yang penuh dengan penghisapan, kolonialisme adalah
musuh pendiri bangsa ini.bahkan lebih gila lagi kita nuat Omnibuslaw untuk
asing ,Kolonialisme China lebih leluasa menggaruk kekayaan ibu pertiwi .kesempatan
covid 19 dimana rakyat dalam keadaan tak berdaya dalam keadaan kesusahan
hidup para pengkhianat itu masih sempat berbuat nista dengan menyelundupkan
pengesahan beberapa UU yang sangat merugikan bangsa nya , UU yang mengatur
untuk Korupsi yang tidak bisa diperiksa oleh BPK ,bahkan tidak bisa dituntut
ke muka hukum , begitu juga untuk menyempurnakan amandemen UUD 1945
dimunculkan RUU-HIP , inisiator sudah jelas merubah Pancasila 18 Agustus 1945
yang sudah menjadi Konsensus bernegara dengan Trisila, Ekasila , Gotong
Royong menghilangkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa menjadi Ketuhanan yang
berkebudayaan ,sangat jelas ini adalah para sekuler ateis yang bermain maka
sudah bisa ditebak unsur komunis menunggangi nya .
Rupa nya pengusung
Pidato 1 Juni 1945 tidak memahami Pancasila itu apa , dan bahkan tidak
membaca dengan seksama ajaran-ajaran Soekarno yang lain tentang Pancasila .
.......Cuplikan Kursus Pancasila APA SEBAB NEGARA REPUBLIK
INDONESIA BERDASARKAN PANCA SILA?Cuplikan Amanat PJM Presiden Soekarnopada tanggal 24 September
1955di Surabaya
..............”Tidak benar Saudara-saudara,
bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia –
sebenarnya telah mengenal akan – Panca Sila? Tidakkah benar kita dari dahulu
mula, telah mengenal Tuhan, hidup di dalam alam Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita
dahulu pernah menguraikan hal ini panjang lebar. Bukan anggitan baru. Bukan
karangan baru. Tetapi sudah sejak dari dahulu mula bangsa Indonesia adalah
satu bangsa yang cinta kepada Ketuhanan.
Yah
kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agama-agama. Disempurnakan oleh
Agama Islam, disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula kita
memang adalah satu bangsa yang berketuhanan. Demikian pula, tidakkah benar
bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan Bangsa?
Hidup di dalam alam kebangsaan?
Dan
bukan saja kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai engkau
pemuda-pemuda, pernah engkau mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan
Mataram yang membuat candi Prambanan, candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke-2
di waktu itu di bawah pimpinan Sultan Agung Hanjokrokusurno? Tahukah
Saudara-saudara akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu, maka aku
akan berkata kepadamu “Mataram berarti Ibu”. Masih ada persamaan perkataan
Mataram itu misalnya perkataan Mutter di dalam bahasa Jerman – Ibu. Mother
dalam bahasa Inggeris – Ibu. Moeder dalam bahasa Belanda – Ibu. Mater dalam
bahasa Latin – Ibu. Mataram berarti Ibu.
Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman
dulu mula, sehingga negeri kita, negara kita, kita putuskan Mataram.
Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah
kita mempunyai kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu,
jikalau kita tidak mempunyai rasa kebangsaan yang berkobar-kobar di dalam
dada kita?
Yaah kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang
Maha Patih Ihino Gajah Mada. Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar
pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali “tidak akan makan kelapa,
jikalau belum scgenap kepulauan Indonesia tergabung di dalam satu negara
yang besar”. Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah
pemimpin inikah yang sebenarnya pencipta daripada kesatuan kerajaan
Majapahit? Tidak!
Pemimpin besar sekadar adalah sambungan lidah daripada
rasanya rakyat jelata. Tidak ada satu orang pemimpin besar, walaupun besarnya
bagaimanapun juga, – bisa membentuk satu negara yang sebesar Majapahit ialah
satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke, –
bahkan sampai ke daerah Philipina sekarang.
Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil –
pemimpin gurem atau pemimpin yang bagaimanapun, – tetapi jikalau ada orang
yang berkata: “Bung Karno yang mengadakan negara Republik Indonesia”. Tidak
benar!!! Janganpun satu Soekarno sepuluh Soekarno, seratus Soekarno, seribu
Soekarno – tidak akan bisa membentuk negara Republik Indonesia, jikalau
segenap rakyat jelata Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian!”
Kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan segenap rakyat.
Maka itu pula menjadi pikiran Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan
milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku,
bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, – tetapi milik kita semua dari
Sabang sampai ke Merauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalankan
oleh semua bangsa Indonesia.
Aku melihat di dalam daerah-daerah yang kukunjungi, di
manapun aku datang, aku melihat Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di
bagian-bagian yang beragama Islam, tetapi juga di bagian-bagian yang
beragama Kristen. Aku melihat Taman-taman Pahlawan di mana-mana. Di sini di
Surabaya, pada tanggal 10 November tahun 1945, siapa yang berjuang di sini?
Segenap pemuda-pemudi, kiai, kaum buruh, kaum tani,
segenap rakyat Surabaya berjuang dengan tiada perbedaan agama,
adat-istiadat,golongan atau suku.
Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu, demikian
pula rasa perikemanusiaan. Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa
di dalam sejarah dunia ini, satu-satunya bangsa yang tidak pernah menjajah
bangsa lain adalah bangsa Indonesia. Aku tentang orang-orang ahli sejarah
yang bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah kepada bangsa
lain.
Apa sebab? Oleh karena bangsa Indonesia berdiri di atas
dasar perikemanusiaan sejak dari zaman dahulu. Dari zaman Hindu, kita sudah
mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan lagi rasa perikemanusiaan itu dengan
agama-agama yang kemudian.
Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan: “Tat
Twam Asi”. Apa artinya Tat Twam Asi? Tat Twam Asi berarti “Aku adalah dia, dia adalah aku”. Dia
pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang, dia ikut
senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tat Twam Asi – perikemanusiaan.
Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada
perikemanusiaan pula. Malah lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan
ajaran-ajaran fardhu kifayah, kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepada
seluruh masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di kampungmu, dan kalau
orang mati itu tidak terkubur, – siapa yang dianggap berdosa, siapa yang
dikatakan berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan daripada dosa itu? Bukan
sekadar kerabat famili daripada sang mati itu. Tidak! Segenap masyarakat di
situ ikut tanggung jawab.
Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan
Nasional Indonesia laksana api mencetus dan meledakkan segenap rasa
kebangsaan Indonesia? Oleh karena pergerakan nasional Indonesia itu berdiri
di atas dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dari dahulu mula kita
gandrung kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh
karena engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat.
Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan
rakyat, hidup di dalam alam kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang baru
bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan social, – bukan cita-cita baru
bagi kita. Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan Bung
Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis.
Tidak!
Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada
keadilan sosial. Kalau zaman dahulu, kalau ada pemberontakan, –
Saudara-saudara berhadapan dengan pemerintah Belanda, – semboyannya selalu
“Ratu Adil”,ratu adil para marta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah
yang menjadi gandrungnya jiwa bangsa Indonesia. Bukan saja di dalam alam
pergerakan sekarang atau di dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu
mula.
Maka
oleh karena itulah aku berkata, baik Ketuhanan Yang Maha Esa maupun
Kebangsaan, maupun Perikemanusia-an, maupun Kedaulatan Rakyat, maupun
Keadilan Sosial, bukan aku yang menciptakan. Aku sekadar menggali sila-sila
itu. Dan sila-sila ini aku persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia untuk
dipakai sebagai dasar daripada wadah yang berisi masyarakat yang beraneka
agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat. Inilah Saudara-saudara, maka di
dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyousakai di dalam zaman Jepang, pertengahan
tahun 1945 telah diadakan satu sidang daripada pemimpin-pemimpin Indonesia,
dan di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai itu dibicarakan hal-hal ini.
Entah
apa yang ada di pikiran pengusung RUU-HIP itu rasa nya mereka tidak lagi mempertimbangkan sejarah,
nilai-nilai, bahkan dengan kalap Pancasila ditengelamkan, dan sesungguhnya
sejak amandemen UUD 1945 Indonesia sudah dicabut rohnya. Indonesia saat ini
bukan lagi Indonesia yang di Proklamasikan 17 Agustus 1945 , Indonesia bukan
lagi yang digambarkan didalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945
beserta penjelasannya, dan Indonesia karenanya bukan lagi Indonesia yang
berdasar pada Pancasila.
Indonesia saat ini adalah negara
dengan dasar Ultra Liberal, maka tidak heran jika 0,2 % Minoritas China
menguasai lahan 70%, di sektor perkebunan, tambang-tambang, real estate,
Industrial estate, dan 0,1 persen penduduk Indonesia menguasai 50% kekayaan
Indonesia, apakah ini semua sesuai dengan Tujuan bernegara? Inilah bukti
nyata bahwa negara bangsa ini sudah bukan Negara Pancasila.
Pertanyaan berikutnya apakah kita
sebagai anak bangsa membiarkan keadaan seperti ini? tentu tidak saya yakin
mulai membesar tingkat kesadaran kita sebagai bangsa, dan saya juga yakin
akan ada revolusi besar di negeri ini, bagaimana dengan anda apakah anda
sudah sadar atau belum tentang keadaan bangsa dan negara ini?
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar