Minggu, 29 April 2018


KETIKA DUNIA MELIRIK PANCASILA ,KITA MEMELUK NEO LIBERALISME


oleh Prihandoyo Kuswanto


 Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.

 Sistem politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian.
 Akibatnya, seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. Dalam kondisi seperti itu sekali lagi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri.

 Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut. Dalam pandangan hidup terkandung konsep mengenai dasar kehidupan yang dicita-citakan suatu bangsa. Juga terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan. Pada akhirnya pandangan hidup bisa diterjemahkan sebagai sebuah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa yang diyakini kebenarannya serta menimbulkan tekad bagi bangsa yang bersangkutan untuk mewujudkannya. Karena itu, dalam pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh atau meniru model yang dilakukan bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan pandangan hidup dan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri. Bangsa dan rakyat Indonesia sangat patut bersyukur bahwa founding fathers telah merumuskan dengan jelas pandangan hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang dikenal dengan nama Pancasila. Bahwa Pancasila telah dirumuskan sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Juga sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.

 Karena itu, Pancasila tak bisa terlepas dari tata kehidupan rakyat sehari-hari mengingat Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang telah berurat-berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia bisa mencapai kebahagiaan jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik dalam pergaulan antar anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia dengan komunitas, hubungan dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Khalik. Negara Republik Indonesia memang tergolong masih muda dalam pergaulan dunia sebagai bangsa yang merdeka.

Tetapi, perlu diingat, sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan sampai negeri seberang. Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut hilang dan berganti dengan kehidupan masa kolonialisme dan imperialisme. Selama tiga setengah abad bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam kegelapan dan penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa dan rakyat Indonesia dapat kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi, Pancasila bukan mendadak terlahir pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi melalui proses panjang sejalan dengan panjangnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila terlahir dalam nuansa perjuangan dengan melihat pengalaman dan gagasan-gagasan bangsa lain, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan bangsa Indonesia sendiri.

Oleh sebab itu, Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Sejarah telah mencatat, kendati bangsa Indonesia pernah memiliki tiga kali pergantian UUD, tetapi rumusan Pancasila tetap berlaku di dalamnya. Kini, yang terpenting adalah bagaimana rakyat, terutama kalangan elite nasional, melaksanakan Pancasila dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan lagi menjadikan Pancasila sekadar rangkaian kata-kata indah tanpa makna. Jika begitu, maka Pancasila tak lebih dari rumusan beku yang tercantum dalam Pembukaan UUD ’45. Pancasila akan kehilangan makna bila para elite tidak mau bersikap atau bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bila Pancasila tidak tersentuh dengan kehidupan nyata, Pancasila tidak akan bergema. Maka, lambat-laun pengertian dan kesetiaan rakyat terhadap Pancasila akan kabur dan secara perlahan-lahan menghilang. Maka, guna meredam pengaruh dari luar perlu dilakukan akulturasi kebudayaan. Artinya, budaya dari luar disaring oleh budaya nasional sehingga output yang dikeluarkan seusai dengan nilai dan norma bangsa dan rakyat Indonesia. Memang masuknya pengaruh negatif budaya asing tidak dapat lagi dihindari, karena dalam era globalisasi tidak ada negara yang bisa menutup diri dari dunia luar. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia harus mempunyai akar-budaya dan mengikat diri dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, serta tradisi yang tumbuh dalam masyarakat.

Di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960, Presiden Soekarno menegaskan bahwa ideologi Pancasila tidak berdasarkan faham liberalisme ala dunia Barat dan faham sosialis ala dunia Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan keduanya. Tetapi, ideologi Pancasila lahir dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri. Secara singkat Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), nasionalisme (sila kedua), internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Dalam kehidupan kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam era globalisasi yang harus diperhatikan, pertama, pemantapan jatidiri bangsa.

Kedua, pengembangan prinsip-prinsip yang berbasis pada filosofi kemanusiaan dalam nilai-nilai Pancasila, antara lain: Perdamaian—bukan perang.  Demokrasi—bukan penindasan.  Dialog—bukan konfrontasi.  Kerjasama—bukan eksploitasi.  Keadilan—bukan standar ganda. Tata nilai universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih nilai-nilai Pancasila dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi telah ada dalam Pancasila. Karena itu, mempertentangkan ideologi Pancasila dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar kesia-siaan belaka. Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup, bangsa dan rakyat Indonesia akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup.
Menggantikan Pancasila sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan mendapat dukungan bangsa dan rakyat Indonesia. Pancasila dapat ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi semua pandangan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian Indonesia. Sesungguhnya, Pancasila bukan hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku universal bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila telah memberikan arah bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa membedakan ras, warna kulit, atau agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan Pancasila dengan teramat mudah. Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan aman, damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan, tetapi sebuah kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai dengan dambaan dan cita-cita masyarakat dunia. Bukankah kondisi dunia yang serba carut-marut seperti sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham di luar Pancasila? Bukankah secara de facto faham komunisme telah gagal dalam memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet? Bukankah faham liberalisme banyak mendapat tentangan dari negara-negara berkembang? Era globalisasi kiranya menjadi momentum yang sangat baik guna membangun tatanan dunia baru yang terlepas dari hingar-bingar perang dan kekerasan. Saat ini menjadi momentum yang sangat berharga bagi semua warga dunia untuk menghilangkan chauvinisme dan mengarahkan pandangan kepada Pancasila. Bahwa nilai-nilai luhur Pancasila yang taken for granted dapat menciptakan kondisi dunia menuju suasana yang aman, damai, dan sejahtera. Dunia menjadi aman, sesuai nilai Pancasila, karena setiap negara di dunia menghargai dan menghormati kedaulatan setiap negara lain. Kedamaian dunia tercipta, karena Pancasila sangat menentang keras peperangan dan setiap tindak kekerasan dari satu negara kepada negara lain. Dan, kesejahteraan dunia bisa tercapai, sesuai nilai-nilai Pancasila, karena kesetaraan setiap negara di dunia sangat membuka peluang kerja sama antar negara dalam suasana yang tulus, tidak dalam sikap saling curiga, serta tidak saling memusuhi.

INDUSTRIALISASI POLITIK &DEMOKRASI LIBERAL SERTA PUPUSNYA NASIONALISME KEBANGSAAN INDONESIA

OLEH :PRIHANDOYO KUSWANTO
KETUA RUMAH PANCA SILA
Sejak bergulir nya Reformasi dan tumbang nya Orde Baru ,tanpa disadari telah terjadi perubahan perpolitikan dan demokrasi di negeri ini ,perubahan ini membawah arah yang positif disatu sisi juga tidak sdikit unsur negative nya .
Dalam perubahan politik telah terjadi perubahan yang mendasar,politik tidak membawah dan membangun karakter kebangsaan , justru politik menjadi Industrialisasi , hal ini ditandai dengan politik pecitraan yang dibangun oleh setiap insan politik dan elit nya .
Munculnya politik pencitraan ini dibarengi dengan munculnya konsultan-konsultan politik, yang siap memoles apa saja yang diinginkan oleh kandidat , walau dalam sejarahnya sang kandidat berperilaku buruk, seseorang kandidat tidak lagi diperlukan perjuangan dari bawah , tetapi cukup memyediakan uang untuk merubah wajah calon kandidat.
politik pencitraan ini telah di praktekan pertama kali oleh SBY dengan mengunakan Fox Indonesia sebagai konsultan dalam Pilpres tahun 2009 yang lalu dan hasil nya SBY bisa memenangkan pilpres
Ciri-ciri dari Industrialisasi politik dan demokrasi adalah adanya sebuah proses yang diawali dengan merubah image seseorang yang dilakukan konsultan pencitraan , bak produk dilakukan rekayasa sikap dan perilaku seorang kadindat agar mempunyai daya jual , dan image yang berupa topeng ,santun, berwibawa,jujur, amanah , semua simbul-simbul yang diinginkan masyarakat di tempelkan pada wajah kadindat .
Langka selanjut nya adalah memasarkan maka konsultan marketing mulai banyak menawarkan jasa nya , bak barang dagangan memasarkan seseorang yang telah dipoles dengan berbagai cara ,memasang iklan , membuat acara-acara yang bisa menarik masyarakat
Untuk mengukur elektabilitas apakah seorang kandidat telah berhasil dalam pemasaran nya selanjutnya dilakukan penjajakan yang sering dilakukan dengan survey jajak pendapat ,apa bila hasil jajak pendapat kurang memuaskan maka akan dilakukan berbaikan produk dan mengetahui titik kelemahan selanjut nya perlu ada nya perbaikan .Survey ini juga bisa untuk mengetahui dan mengukur kekuatan-kekuatan produk lain
Ketika proses pencarian pemimpin ini sudah menelan begitu saja yang serba Amerika dan meninggalkan segala system yang telah dibangun oleh pendiri bangsa ,maka pertanyaan besar yang harus dijawab adalah di mana proses pembangunan karakter kebangsaan kita ? dalam system yang dibangun bak proses produksi maka dibutuhkan biaya investasi yang sangat besar ,tentunya dalam produksi dan proses Industrialisasi politik dan demokrasi ini dengan investasi yang basar tidak mungkin investasi itu tidak diharapkan kembali dan untung,maka sering kita melihat ketika seorang yang telah selesai menjabat langka seanjut nya mereka masuk penjarah ditangkap KPK akibat korupsi untuk mengembalikan investasi dalam pemilihan nya sebagai kepala daerah nya.
Fenomena Idustrialisasi politik dan demokrasi dewasa ini telah memerosotkan karakter kebangsaan , dalam perkembangan delapan belas tahun terakhir sejak reformasi digulirkan telah merubah tatanan kebangsaan kita proses politik menelan begitu saja cara-cara Amerika yang dianggap paling baik ,bahkan jauh lebih liberal dari cara-cara Amerika , sementara meninggal kan dan mengubur budaya Pancasila sebagai dasar bernegara.
Dalam Industrialisasi politik dan demokrasi semua kekuatan berebut pengaruh dan berebut kekuasaan. namun, ketika para elite politik itu memperoleh
kekuasaan,tidak jelas apa yang mereka lakukan untuk perbaikan negeri ini.
Kekuasaaan akhirnya hanya menjadi instrumen mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan-kepentingan pragmatis yang berakibat merugikan kepentingan bangsa Indonesia .
Performa negara di era reformasi sekarang cenderung tidak memiliki landasan kokoh untuk membangun negara ber martabat. Proses dan mekanisme politik untuk menjadi pejabat publik pada institusi-institusi negara sarat dengan transaction cost yang tinggi.bahkan sudah menjadi indutrilisasi politik dan demokrasi ,keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi bangsa ini .
Belajar dari sejarah ,salah satu yang dilakukan Bung Karno pada waktu itu dan yang tidak dilakukan oleh Soeharto dan penggantinya samapai pada Jokowi ,adalah melakukan “character and nation building”. Siapa tak bangga pada waktu itu memiliki Presiden Indonesia Bung Karno? Pembangunan karakter bangsa adalah fondasi untuk memperbaiki krisis bangsa. Kalau karakter bangsa sudah rusak maka bangsa itu akan menjadi cemooh bangsa lain, diejek dan diremehkan oleh kekuatan asing. Pembangunan sosial, ekonomi, politik,kebudayaan memerlukan pembangunan karakter bangsa.
Berapa pun besar bantuan luar negeri dikucurkan, berapa pun hutang luar negeri diperoleh, berapa pun tenaga ahli dikirimkan akan sia-sia kalau bangsa Indonesia gagal melakukan “character and nation building”. Yang ada setelah tujuh puluh tiga tahun merdeka, hutang makin membumbung, korupsi makin merajalela, pejabat bisa dibeli, rasa persatuan sebagai bangsa mulai luntur, ke- kerasan antar suku dan antar agama menjamur. Bangsa Indonesia diremehkan dalam percaturan global bahkan menuju kelumpuhan sebagai bangsa semakin tidak berdaya .
Bermula dari Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 telah merusak sistem nilai yang telah dibangaun susah payah ,dan pengorbanan yang begitu besar bukan hanya harta dan darah tetapi juga jutaan nyawa melayang dalam perjuangan mendirikan Indonesia dengan tata nilai yang dibangun atas dasar amanat penderitaan rakyat .Para elit tidak mau mengerti apa yang telah di bangun oleh pendiri negeri ini atas dasar amanat penderitaan rakyat , sehingga kekuasaan yang ada ditangan mereka saat ini tidak menjalankan amanat penderitaan rakyat ,bahkan tidak paham apa itu amanat penderitaan rakyat .
Cuplikan AMANAT PRESIDEN SOEKARNO
PADA ULANG TAHUN PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA, 17 AGUSTUS 1963 DI JAKARTA
Saya berdiri di sini sebagai warganegara Indonesia, sebagai patriot Indonesia, sebagai alat Revolusi Indonesia, sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, sebagai Pengemban Utama daripada Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia.
Kita semua yang berdiri dan duduk di sini harus merasakan diri kita sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat! Saya bertanya, sudahkah engkau semua, hai saudara-saudara!, engkau … engkau … engkau … engkau, sudahkah engkau semua benar-benar mengerti dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar menyadari dirimu sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar menginsyafi dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar merasakan dirimu, sampai ketulang-tulang-sungsummu, sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat?
Amanat Penderitaan Rakyat, yang menjadi tujuan perjuangan kita, sumber kekuatan dan sumber keridlaan berkorban daaripada perjuangan kita yang maha dahsyat ini? Sekali lagi engkau semua, engkau semua dari Sabang sampai Merauke! , sudahkah engkau semua benar-benar sadar akan hal itu?
“Dari Sabang sampai Merauke”, empat perkataan ini bukanlah sekedar satu rangkaian kata ilmu bumi. “Dari Sabang sampai Merauke” bukanlah sekedar menggambarkan satu geographisch begrip. “Dari Sabang sampai Merauke” bukanlah sekadar satu “geographical entity”. Ia adalah merupakan satu kesatuan kebangsaan. Ia adalah satu “national entity”. Ia adalah pula satu kesatuan kenegaraan, satu “state entity” yang bulat-kuat. Ia adalah satu kesatuan tekad, satu kesatuan ideologis, satu “ideological entity” yang amat dinamis. Ia adalah satu kesatuan cita-cita sosial yang hidup laksana api unggun, satu entity of social-consciousness like a burning fire.
Dan sebagai yang sudah saya katakan dalam pidato-pidato saya yang lalu, social consciousness kita ini adalah bagian daripada social consciousness of man. Revolusi Indonesia adalah kataku tempohari congruent dengan the social conscience of man!
Kesadaran sosial dari Rakyat Indonesia itulah pokok-hakekat daripada Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia. Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia itu adalah dus bagian daripada social consciousness of mankind. Dus amanat Penderitaan Rakyat Indonesia adalah bagian daripada Amanat Penderitaan Rakyat daripada seluruh kemanusiaan!
Dus Amanat Penderitaan Rakyat kita bukanlah sekadar satu pengertian atau tuntutan nasional belaka.
Amanat Penderitaan Rakyat kita bukan sekedar satu “hal Indonesia”. Amanat Penderitaan Rakyat kita menjalin kepada Amanat Penderitaan Umat Manusia, Amanat Penderitaan Umat Manusia menjalin kepada Amanat Penderitaan Rakyat kita. Revolusi Indonesia menjalin kepada Revolusi Umat Manusia, Revolusi Umat Manusia menjalin kepada Revolusi Indonesia.
Pernah saya gambarkan hal ini dengan kata-kata: “there is an essential humanity in the Indonesian Revolution”. Pernah pula saya katakan bahwa Revolusi Indonesia mempunyai suara yang “mengumandang sejagad”, yakni bahwa Revolusi Indonesia mempunyai “universal voice”.
Menurut Renan (1823-1892), yang pendapatnya sering dikutip Bung Karno: ” Bangsa hadir karena ada kesamaan nasib dan penderitaan, serta adanya semangat dan tekad untuk berhimpun dalam sebuah “nation”. ….
Bangsa itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi…. Manusia itu bukanlah budak dari keturunannya (ras) atau dari bahasanya, atau dari agamanya, …..
Suatu kumpulan besar manusia, yang sehat jiwanya dan berkobarkobar hatinya, menimbulkan suatu kesadaran batin yang dinamakan bangsa”.Dengan demikian, bangsa hadir bukan dikarenakan adanya kesamaan budaya, suku, ras, etnisitas, agama dan pertimbangan-pertimbangan ikatan primodialisme yang lain, tetapi lebih menekankan pada adanya kesamaan nasib dan keinginan untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas bangsa”
Dalam konteks demikian maka dengan perubahan sistem politik dan demokrasi yang telah berubah menjadi industri politik dan demokrasi liberal yang mampu melulu lantakan nilai-nilai berbangsa dan bernegara maka bangsa ini semakin terjebak pada pikiran pikiran yang serba pragmatis ,tanpa bisa lagi berfikir tentang paradigmatika kebangsaan nya.
Indonesia akan menjadi buih ditengah samudra yang tidak mempunyai jangkar karakter kebangsaan nya ,semakin hanyut diombang-ambingkan oleh yang nama nya Globalisasi , tidak lagi mampu berdiri apa lagi berjalan ,sebahagian besar kekayaan ibu pertiwi telah tergadaikan dan dikuasai oleh Asing ,Aseng dan Asu , yang tidak berfikir lagi bagaimana nasib anak cucu bangsa ini .
Tidak ada jalan penyelamat kecuali ada nya kesadaran untuk mengembalikan jati diri bangsa Indonesia Panca Sila dan UUD 1945 Proklamasi /dekrit 5 Juli 1959. Semua tergantung pada hati nurani kita masing-masing apakah kita akan berjuang atau kita puna sebagai bangsa .