KETIKA DUNIA MELIRIK PANCASILA ,KITA MEMELUK NEO LIBERALISME
oleh
Prihandoyo Kuswanto
Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak
mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang
sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari
luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah
tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem
demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham
liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung
Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang
berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.
Sistem politik yang berkembang saat ini sangat
gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik
berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa
Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa
batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat
semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya
dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati
diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba
liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian.
Akibatnya, seperti terlihat saat ini,
konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik tampak hanya
memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. Dalam kondisi seperti
itu sekali lagi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara
memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang
bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri.
Dengan begitu, nilai-nilai baru yang
berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia.
Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu
berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai.
Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap
persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut. Dalam
pandangan hidup terkandung konsep mengenai dasar kehidupan yang dicita-citakan
suatu bangsa. Juga terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa
mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan. Pada akhirnya pandangan hidup
bisa diterjemahkan sebagai sebuah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki
suatu bangsa yang diyakini kebenarannya serta menimbulkan tekad bagi bangsa
yang bersangkutan untuk mewujudkannya. Karena itu, dalam pergaulan kehidupan
berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh atau
meniru model yang dilakukan bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan pandangan
hidup dan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri. Bangsa dan rakyat Indonesia
sangat patut bersyukur bahwa founding fathers telah merumuskan dengan jelas
pandangan hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang dikenal dengan nama
Pancasila. Bahwa Pancasila telah dirumuskan sebagai jiwa seluruh rakyat
Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan
dasar negara Indonesia. Juga sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.
Karena itu, Pancasila tak bisa terlepas dari
tata kehidupan rakyat sehari-hari mengingat Pancasila merupakan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita-cita moral yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang
telah berurat-berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan bangsa
Indonesia sejak dahulu kala telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia
bisa mencapai kebahagiaan jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik
dalam pergaulan antar anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia
dengan komunitas, hubungan dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Khalik.
Negara Republik Indonesia memang tergolong masih muda dalam pergaulan dunia
sebagai bangsa yang merdeka.
Tetapi,
perlu diingat, sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia telah ada jauh sebelum
Indonesia merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit,
atau Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara
bahkan sampai negeri seberang. Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut
hilang dan berganti dengan kehidupan masa kolonialisme dan imperialisme. Selama
tiga setengah abad bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam kegelapan dan
penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa dan rakyat Indonesia dapat
kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi, Pancasila bukan
mendadak terlahir pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi
melalui proses panjang sejalan dengan panjangnya perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. Pancasila terlahir dalam nuansa perjuangan dengan melihat pengalaman
dan gagasan-gagasan bangsa lain, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan
gagasan-gagasan bangsa Indonesia sendiri.
Oleh
sebab itu, Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Sejarah telah mencatat, kendati bangsa Indonesia pernah memiliki tiga kali
pergantian UUD, tetapi rumusan Pancasila tetap berlaku di dalamnya. Kini, yang
terpenting adalah bagaimana rakyat, terutama kalangan elite nasional,
melaksanakan Pancasila dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jangan lagi menjadikan Pancasila sekadar rangkaian kata-kata indah tanpa makna.
Jika begitu, maka Pancasila tak lebih dari rumusan beku yang tercantum dalam
Pembukaan UUD ’45. Pancasila akan kehilangan makna bila para elite tidak mau
bersikap atau bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bila Pancasila
tidak tersentuh dengan kehidupan nyata, Pancasila tidak akan bergema. Maka,
lambat-laun pengertian dan kesetiaan rakyat terhadap Pancasila akan kabur dan
secara perlahan-lahan menghilang. Maka, guna meredam pengaruh dari luar perlu
dilakukan akulturasi kebudayaan. Artinya, budaya dari luar disaring oleh budaya
nasional sehingga output yang dikeluarkan seusai dengan nilai dan norma bangsa
dan rakyat Indonesia. Memang masuknya pengaruh negatif budaya asing tidak dapat
lagi dihindari, karena dalam era globalisasi tidak ada negara yang bisa menutup
diri dari dunia luar. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia harus mempunyai
akar-budaya dan mengikat diri dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, serta
tradisi yang tumbuh dalam masyarakat.
Di
depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960, Presiden Soekarno menegaskan bahwa
ideologi Pancasila tidak berdasarkan faham liberalisme ala dunia Barat dan
faham sosialis ala dunia Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan keduanya.
Tetapi, ideologi Pancasila lahir dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri.
Secara singkat Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama),
nasionalisme (sila kedua), internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila
keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Dalam kehidupan kebersamaan antar
bangsa di dunia, dalam era globalisasi yang harus diperhatikan, pertama,
pemantapan jatidiri bangsa.
Kedua,
pengembangan prinsip-prinsip yang berbasis pada filosofi kemanusiaan dalam
nilai-nilai Pancasila, antara lain: Perdamaian—bukan perang. Demokrasi—bukan penindasan. Dialog—bukan konfrontasi. Kerjasama—bukan eksploitasi. Keadilan—bukan standar ganda. Tata nilai
universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih
nilai-nilai Pancasila dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi
telah ada dalam Pancasila. Karena itu, mempertentangkan ideologi Pancasila
dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar kesia-siaan belaka.
Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup,
bangsa dan rakyat Indonesia akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan
sikap hidup.
Menggantikan
Pancasila sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan
mendapat dukungan bangsa dan rakyat Indonesia. Pancasila dapat ditetapkan
sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi semua pandangan hidup
dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian Indonesia. Sesungguhnya,
Pancasila bukan hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku
universal bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila
telah memberikan arah bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia dengan
nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa membedakan ras, warna kulit, atau
agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan Pancasila dengan
teramat mudah. Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan aman,
damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan, tetapi sebuah
kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai dengan dambaan dan
cita-cita masyarakat dunia. Bukankah kondisi dunia yang serba carut-marut seperti
sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham di luar Pancasila? Bukankah secara de
facto faham komunisme telah gagal dalam memberikan kedamaian dan kesejahteraan
bagi rakyat Uni Soviet? Bukankah faham liberalisme banyak mendapat tentangan
dari negara-negara berkembang? Era globalisasi kiranya menjadi momentum yang
sangat baik guna membangun tatanan dunia baru yang terlepas dari hingar-bingar
perang dan kekerasan. Saat ini menjadi momentum yang sangat berharga bagi semua
warga dunia untuk menghilangkan chauvinisme dan mengarahkan pandangan kepada
Pancasila. Bahwa nilai-nilai luhur Pancasila yang taken for granted dapat
menciptakan kondisi dunia menuju suasana yang aman, damai, dan sejahtera. Dunia
menjadi aman, sesuai nilai Pancasila, karena setiap negara di dunia menghargai
dan menghormati kedaulatan setiap negara lain. Kedamaian dunia tercipta, karena
Pancasila sangat menentang keras peperangan dan setiap tindak kekerasan dari
satu negara kepada negara lain. Dan, kesejahteraan dunia bisa tercapai, sesuai nilai-nilai
Pancasila, karena kesetaraan setiap negara di dunia sangat membuka peluang
kerja sama antar negara dalam suasana yang tulus, tidak dalam sikap saling
curiga, serta tidak saling memusuhi.