Minggu, 29 Juli 2012

KETIKA DUNIA MELIRIK PANCASILA ,KITA MEMELUK NEO LIBERALISME




oleh Prihandoyo Kuswanto


 Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.

 Sistem politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian.
 Akibatnya, seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. Dalam kondisi seperti itu sekali lagi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri.

 Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut. Dalam pandangan hidup terkandung konsep mengenai dasar kehidupan yang dicita-citakan suatu bangsa. Juga terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan. Pada akhirnya pandangan hidup bisa diterjemahkan sebagai sebuah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa yang diyakini kebenarannya serta menimbulkan tekad bagi bangsa yang bersangkutan untuk mewujudkannya. Karena itu, dalam pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh atau meniru model yang dilakukan bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan pandangan hidup dan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri. Bangsa dan rakyat Indonesia sangat patut bersyukur bahwa founding fathers telah merumuskan dengan jelas pandangan hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang dikenal dengan nama Pancasila. Bahwa Pancasila telah dirumuskan sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Juga sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.

 Karena itu, Pancasila tak bisa terlepas dari tata kehidupan rakyat sehari-hari mengingat Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang telah berurat-berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia bisa mencapai kebahagiaan jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik dalam pergaulan antar anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia dengan komunitas, hubungan dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Khalik. Negara Republik Indonesia memang tergolong masih muda dalam pergaulan dunia sebagai bangsa yang merdeka.

Tetapi, perlu diingat, sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan sampai negeri seberang. Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut hilang dan berganti dengan kehidupan masa kolonialisme dan imperialisme. Selama tiga setengah abad bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam kegelapan dan penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa dan rakyat Indonesia dapat kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi, Pancasila bukan mendadak terlahir pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi melalui proses panjang sejalan dengan panjangnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila terlahir dalam nuansa perjuangan dengan melihat pengalaman dan gagasan-gagasan bangsa lain, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan bangsa Indonesia sendiri.

Oleh sebab itu, Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Sejarah telah mencatat, kendati bangsa Indonesia pernah memiliki tiga kali pergantian UUD, tetapi rumusan Pancasila tetap berlaku di dalamnya. Kini, yang terpenting adalah bagaimana rakyat, terutama kalangan elite nasional, melaksanakan Pancasila dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan lagi menjadikan Pancasila sekadar rangkaian kata-kata indah tanpa makna. Jika begitu, maka Pancasila tak lebih dari rumusan beku yang tercantum dalam Pembukaan UUD ’45. Pancasila akan kehilangan makna bila para elite tidak mau bersikap atau bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bila Pancasila tidak tersentuh dengan kehidupan nyata, Pancasila tidak akan bergema. Maka, lambat-laun pengertian dan kesetiaan rakyat terhadap Pancasila akan kabur dan secara perlahan-lahan menghilang. Maka, guna meredam pengaruh dari luar perlu dilakukan akulturasi kebudayaan. Artinya, budaya dari luar disaring oleh budaya nasional sehingga output yang dikeluarkan seusai dengan nilai dan norma bangsa dan rakyat Indonesia. Memang masuknya pengaruh negatif budaya asing tidak dapat lagi dihindari, karena dalam era globalisasi tidak ada negara yang bisa menutup diri dari dunia luar. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia harus mempunyai akar-budaya dan mengikat diri dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, serta tradisi yang tumbuh dalam masyarakat.

Di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960, Presiden Soekarno menegaskan bahwa ideologi Pancasila tidak berdasarkan faham liberalisme ala dunia Barat dan faham sosialis ala dunia Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan keduanya. Tetapi, ideologi Pancasila lahir dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri. Secara singkat Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), nasionalisme (sila kedua), internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Dalam kehidupan kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam era globalisasi yang harus diperhatikan, pertama, pemantapan jatidiri bangsa.

Kedua, pengembangan prinsip-prinsip yang berbasis pada filosofi kemanusiaan dalam nilai-nilai Pancasila, antara lain: Perdamaian—bukan perang.  Demokrasi—bukan penindasan.  Dialog—bukan konfrontasi.  Kerjasama—bukan eksploitasi.  Keadilan—bukan standar ganda. Tata nilai universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih nilai-nilai Pancasila dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi telah ada dalam Pancasila. Karena itu, mempertentangkan ideologi Pancasila dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar kesia-siaan belaka. Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup, bangsa dan rakyat Indonesia akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup.
Menggantikan Pancasila sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan mendapat dukungan bangsa dan rakyat Indonesia. Pancasila dapat ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi semua pandangan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian Indonesia. Sesungguhnya, Pancasila bukan hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku universal bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila telah memberikan arah bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa membedakan ras, warna kulit, atau agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan Pancasila dengan teramat mudah. Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan aman, damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan, tetapi sebuah kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai dengan dambaan dan cita-cita masyarakat dunia. Bukankah kondisi dunia yang serba carut-marut seperti sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham di luar Pancasila? Bukankah secara de facto faham komunisme telah gagal dalam memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet? Bukankah faham liberalisme banyak mendapat tentangan dari negara-negara berkembang? Era globalisasi kiranya menjadi momentum yang sangat baik guna membangun tatanan dunia baru yang terlepas dari hingar-bingar perang dan kekerasan. Saat ini menjadi momentum yang sangat berharga bagi semua warga dunia untuk menghilangkan chauvinisme dan mengarahkan pandangan kepada Pancasila. Bahwa nilai-nilai luhur Pancasila yang taken for granted dapat menciptakan kondisi dunia menuju suasana yang aman, damai, dan sejahtera. Dunia menjadi aman, sesuai nilai Pancasila, karena setiap negara di dunia menghargai dan menghormati kedaulatan setiap negara lain. Kedamaian dunia tercipta, karena Pancasila sangat menentang keras peperangan dan setiap tindak kekerasan dari satu negara kepada negara lain. Dan, kesejahteraan dunia bisa tercapai, sesuai nilai-nilai Pancasila, karena kesetaraan setiap negara di dunia sangat membuka peluang kerja sama antar negara dalam suasana yang tulus, tidak dalam sikap saling curiga, serta tidak saling memusuhi.

KETIKA DUNIA MELIRIK PANCASILA ,KITA MEMELUK NEO LIBERALISME




oleh Prihandoyo Kuswanto


 Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.

 Sistem politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian.
 Akibatnya, seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. Dalam kondisi seperti itu sekali lagi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri.

 Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut. Dalam pandangan hidup terkandung konsep mengenai dasar kehidupan yang dicita-citakan suatu bangsa. Juga terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan. Pada akhirnya pandangan hidup bisa diterjemahkan sebagai sebuah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa yang diyakini kebenarannya serta menimbulkan tekad bagi bangsa yang bersangkutan untuk mewujudkannya. Karena itu, dalam pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh atau meniru model yang dilakukan bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan pandangan hidup dan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri. Bangsa dan rakyat Indonesia sangat patut bersyukur bahwa founding fathers telah merumuskan dengan jelas pandangan hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang dikenal dengan nama Pancasila. Bahwa Pancasila telah dirumuskan sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Juga sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.

 Karena itu, Pancasila tak bisa terlepas dari tata kehidupan rakyat sehari-hari mengingat Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang telah berurat-berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia bisa mencapai kebahagiaan jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik dalam pergaulan antar anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia dengan komunitas, hubungan dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Khalik. Negara Republik Indonesia memang tergolong masih muda dalam pergaulan dunia sebagai bangsa yang merdeka.

Tetapi, perlu diingat, sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan sampai negeri seberang. Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut hilang dan berganti dengan kehidupan masa kolonialisme dan imperialisme. Selama tiga setengah abad bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam kegelapan dan penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa dan rakyat Indonesia dapat kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi, Pancasila bukan mendadak terlahir pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi melalui proses panjang sejalan dengan panjangnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila terlahir dalam nuansa perjuangan dengan melihat pengalaman dan gagasan-gagasan bangsa lain, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan-gagasan bangsa Indonesia sendiri.

Oleh sebab itu, Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Sejarah telah mencatat, kendati bangsa Indonesia pernah memiliki tiga kali pergantian UUD, tetapi rumusan Pancasila tetap berlaku di dalamnya. Kini, yang terpenting adalah bagaimana rakyat, terutama kalangan elite nasional, melaksanakan Pancasila dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan lagi menjadikan Pancasila sekadar rangkaian kata-kata indah tanpa makna. Jika begitu, maka Pancasila tak lebih dari rumusan beku yang tercantum dalam Pembukaan UUD ’45. Pancasila akan kehilangan makna bila para elite tidak mau bersikap atau bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bila Pancasila tidak tersentuh dengan kehidupan nyata, Pancasila tidak akan bergema. Maka, lambat-laun pengertian dan kesetiaan rakyat terhadap Pancasila akan kabur dan secara perlahan-lahan menghilang. Maka, guna meredam pengaruh dari luar perlu dilakukan akulturasi kebudayaan. Artinya, budaya dari luar disaring oleh budaya nasional sehingga output yang dikeluarkan seusai dengan nilai dan norma bangsa dan rakyat Indonesia. Memang masuknya pengaruh negatif budaya asing tidak dapat lagi dihindari, karena dalam era globalisasi tidak ada negara yang bisa menutup diri dari dunia luar. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia harus mempunyai akar-budaya dan mengikat diri dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, serta tradisi yang tumbuh dalam masyarakat.

Di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960, Presiden Soekarno menegaskan bahwa ideologi Pancasila tidak berdasarkan faham liberalisme ala dunia Barat dan faham sosialis ala dunia Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan keduanya. Tetapi, ideologi Pancasila lahir dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri. Secara singkat Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), nasionalisme (sila kedua), internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Dalam kehidupan kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam era globalisasi yang harus diperhatikan, pertama, pemantapan jatidiri bangsa.

Kedua, pengembangan prinsip-prinsip yang berbasis pada filosofi kemanusiaan dalam nilai-nilai Pancasila, antara lain: Perdamaian—bukan perang.  Demokrasi—bukan penindasan.  Dialog—bukan konfrontasi.  Kerjasama—bukan eksploitasi.  Keadilan—bukan standar ganda. Tata nilai universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih nilai-nilai Pancasila dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi telah ada dalam Pancasila. Karena itu, mempertentangkan ideologi Pancasila dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar kesia-siaan belaka. Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup, bangsa dan rakyat Indonesia akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup.
Menggantikan Pancasila sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan mendapat dukungan bangsa dan rakyat Indonesia. Pancasila dapat ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi semua pandangan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian Indonesia. Sesungguhnya, Pancasila bukan hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku universal bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila telah memberikan arah bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa membedakan ras, warna kulit, atau agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan Pancasila dengan teramat mudah. Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan aman, damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan, tetapi sebuah kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai dengan dambaan dan cita-cita masyarakat dunia. Bukankah kondisi dunia yang serba carut-marut seperti sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham di luar Pancasila? Bukankah secara de facto faham komunisme telah gagal dalam memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet? Bukankah faham liberalisme banyak mendapat tentangan dari negara-negara berkembang? Era globalisasi kiranya menjadi momentum yang sangat baik guna membangun tatanan dunia baru yang terlepas dari hingar-bingar perang dan kekerasan. Saat ini menjadi momentum yang sangat berharga bagi semua warga dunia untuk menghilangkan chauvinisme dan mengarahkan pandangan kepada Pancasila. Bahwa nilai-nilai luhur Pancasila yang taken for granted dapat menciptakan kondisi dunia menuju suasana yang aman, damai, dan sejahtera. Dunia menjadi aman, sesuai nilai Pancasila, karena setiap negara di dunia menghargai dan menghormati kedaulatan setiap negara lain. Kedamaian dunia tercipta, karena Pancasila sangat menentang keras peperangan dan setiap tindak kekerasan dari satu negara kepada negara lain. Dan, kesejahteraan dunia bisa tercapai, sesuai nilai-nilai Pancasila, karena kesetaraan setiap negara di dunia sangat membuka peluang kerja sama antar negara dalam suasana yang tulus, tidak dalam sikap saling curiga, serta tidak saling memusuhi.

Sabtu, 28 Juli 2012

PESAN BUNG KARNO

Pesan Bung Karno, “Kita tuangken satu masyarakat tanpa explotation de l’homme par l’homme, satu masyarakat yang tiap-tiap manusia Indonesia merasa bahagia, satu masyarakat yang tiada seorang ibu menangis oleh karena tidak bisa memberi susu kepada anaknya, satu masyarakat yang tiap-tiap orang menjadi cerdas, satu masyarakat yang benar-benar membuat bangsa Indonesia ini satu bangsa yang terdiri dari pada ratusan juta Insan Al-Kamil yang hidup dengan bahagia di bawah kolong langit buatan Allah Subhanahu Wata a’la.

PETUAH BUNG KARNO..


Banyak zogenaamde, pemimpin rakyat berteriak-teriak, berkaok-kaok mengatakan berjuang melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat, tapi nyatanya hanya untuk rakyat hanya golongannya sendiri saja, rakyat konco-konconya sendiri saja...
(Pidato Pembukaan sidang III MPRS, 11 April 1965)

Selasa, 24 Juli 2012

PENYESATAN 4 PILAR DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA 

Dalam berbagai wacana setelah reformasi tanpa disadari telah terjadi perubahan yang sangat mengkuatirkan terhadap dasar dan landasan bernegara , terjadi istilah-istilah yang menyesatkan , ketika Pancasila dijadikan Pilar , kelihatan nya sederhana tetapi hal ini menjadi persoalan yang tidak sederhana , bagaimana Pancasila sebagai dasar bernegara di rubah menjadi pilar , padahal sebuah pilar akan runtuh manakalah Pondasi penyangga nya tidak kuat Bahkan beberapa partai politik dan organisasi kemasyarakatan telah bersepakat dan bertekad untuk berpegang teguh serta mempertahankan empat pilar kehidupan bangsa tersebut. Empat pilar dimaksud dimanfaatkan sebagai landasan perjuangan dalam menyusun program kerja dan dalam melaksanakan kegiatannya. Hal ini diungkapkan lagi oleh Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, pada kesempatan berbuka puasa dengan para pejuang kemerdekaan pada tanggal 13 Agustus 2010 di istana Negara. Empat pilar tersebut adalah (1) Pancasila, (2) Undang-Undang Dasar 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (4)Bhinneka Tunggal Ika.

PANCASILA sebagai dasar (Pondasi) 

. . . , maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyatdengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dankerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-ratan/perwakilan, serta dengan mewujudkankeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila menurut rumusan di atas berkedudukan sebagai dasar negara, sebagai staatsidee, cita negara sekaligus sebagai cita hukum ataurechtsidee. Cita hukum memiliki fungsi konstitutif dan regulatifterhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala peraturan perundang-undangan harus merupakan derivasi dari prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Segala peraturan perundangan-undangan yang tidak konkordan apalagi bertentangan dengan Pancasila, batal demi hukum. Berikut disampaikan beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari Pancasila.

Kursus PANCASILA oleh Bung Karno saya Kutipkan dari "Kursus Pancasila nya Bung Karno " . "Saudara mengerti dan mengetahui, bahwa Pancasila saya anggapsebagai dasar daripada negara Republik Indonesia itu, atau dengan bahasa Jerman: satu Weltanschauung di atas mana kita meletakkan negara Republik Indonesia itu. Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah salah satu alat pemersatu, yang saya yakin, seyakin-yakinnya. Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat pemersatu untuk di atasnya kita letakkan negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat pemersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit-penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit, terutama sekali imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan suatu bangsa membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri, oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadiannya sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam berbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya." Bung Karno sangat jelas mengatakan Pancasila adalah Dasar bernegara .

Jadi sangat jelas Pancasila sebagai Dasar atau Pondasi apa bisa Pondasi dijadikan Pilar ? kalau Pancasila sebagai Pilar , apa Pondasi nya ? inilah kesesatan dalam memahami negar dan bangsa , ditelinga kelihatan nya enak didengan 4 P sama dengan jaman orde baru P4 . Ir.Prihandoyo Kuswanto Ketua Presidium Rumah Pancasila

Sabtu, 14 Juli 2012

NEGARA PANCASILA 

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lain adalah penuangan jiwa proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 karena dengan proklamasi kemerdekaan 17-8-1945 itu berdiri negara merdeka yaitu Negara Pancasila. Karena menurut penjelasan auntentik (resmi) UUD 1945 tentang pembukaannya berbunyi sebagai berikut :

1. “Negara” – begitu bunyinya – melindungi segenap bangsa Indonesia dengan berdasar atas “persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dalam Pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara membatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian pembukaan itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.

2. “Negara” hendak mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”

3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam Pembukaan ialah “negara” yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas “kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan” yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.

4. Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam pembukaan ialah “negara” “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” Oleh karena itu Undang-Undang Dasar mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Karena kalau diurut-urut dala Kesimpulan bahwa negara yang dimaksudkan oleh para pendiri negara kita ini ialah Negara Pancasila,m table berikut ini, terlihat pada butir 1 disimpulkan “negara” berdasar “persatuan Indonesia” (sila 3) dan “mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia , pada butir 2, disimpulkan “negara” berdasar “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” ( sila 5), pada butir 3 disimpulkan “negara” berdasarkan “kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan” (sila 4) dan pada butir 4 disimpulkan “negara” berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” (sila 1). Jadi kalau dirangkum, butir 1 negara berdasarkan persatuan Indonesia (sila 3), butir 2 negara berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila 2), butir 3 negara berdasarkan kerakyatan dan permusyawratan perwakilan (sila 4), dan pada butir 4 negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila 1). Jadi kesimpulan negara menurut penjelasan resmi Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 itu adalah negara Pancasila. Tetapi mengapa maka urutan sila-sila tidak berurutan seperti yang kita kenal sekarang ? Apakah itu masalah ? Tdak masalah sebab penjelasan itu mengikuti jalan fikiran pertama-tama dari Bung Karno sendir

rumah pancasila

Social Plugins - Pengembang Facebook

RENUNGAN INDAH


W.S. Rendra
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya : mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua
"derita" adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh
dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".....
Semoga bermanfaat..!!!